MODEL PEMBELAJARAN CTL
1.
Hakikat CTL
a. Pengertian CTL
Contextual Teaching and
Learning (CTL) merupakan sebuah sistem belajar
yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila
mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka
menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi
baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya.
CTL
merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses
pembelajaran. Siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pelajaran
sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya. Belajar dalam konteks CTL bukan
hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses
berpengalaman secara langsung. Melalui proses berpengalaman itu, diharapkan
perkembangan siswa terjadi secara utuh, yang tidak hanya berkembang dalam aspek
kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan juga psikomotor. Belajar melalui
CTL diharapkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang dipelajarinya.
b. Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Kontekstual
(CTL)
Dari konsep CTL tersebut, ada tiga
hal yang harus kita pahami. Pertama, CTL
menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya
proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses
belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima
pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua,
CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah
denga kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi
sisw materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan.
Ketiga,
CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi
yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL
bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudiann dilupakan, akan tetapi sebagai bekal
mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
c. Ciri-Ciri/Karakteristik Proses Belajar CTL
Lima karakteristik penting dalam
proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL.
1. Dalam
CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge), artinya apa yang
akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan
demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh
yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2. Pembelajaran
yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan
menambah pengetahuan baru (acquiring
knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara dedukatif, artinya
pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memerhatikan
detailnya.
3. Pemahaman
pengetahuan (understanding knowledge),
artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami
dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang
pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru
pengetahuan itu dikembangkan.
4. Mempraktikan
pengetahuan dan pengalamann tersebut (applying
knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus
dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku
siswa.
5.
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses
perbaikan dan penyempurnaan strategi.
d. Prinsip Pembelajaran
Kontekstual
Ada
tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus dikembangkan olhe guru,
yaitu:
1)
Konstruktivisme
(Constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan
berpikir (filosofi) dalam CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia
sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas.Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang
siap untuk diambil dan diingat.Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata.
Esensi dari teori konstruktivis adalah
ide baha siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks
ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka
sendiri. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka
melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi
pusat kegiatan, bukan guru.
Landasan berpikir konstruktivisme, agak
berbeda denggan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil
pembelajaran.Dalam pandangan konstrutivis, strategi memperoleh lebih diutamakan
dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk
itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
a.
Menjadikan pengetahuan
bermakna dan relevan bagi siswa;
b.
Memberi kesempatan
siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri dan;
c.
Menyadarkan siswa agar
menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2)
Inkuiri
(Inquiry)
Inkuiri merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual.Pengetahuan dan ketrampilan yang
diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta,
tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang
merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Siklus
inkuiri terdiri dari:
a. Observasi
(Observation);
b. Bertanya
(Questioning);
c. Mengajukan
dugaan (Hypothesis);
d. Pengumpulan
data (Data gathering);
e. Penyimpulan
(conclussion);
Langkah-langkah
kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan
masalah;
b. Mengamati
atau melakukan observasi;
c. Menganalisis
dan meyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya
lainnya;
d.
Mengomunikasikan atau
menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audiensi yang
lain.
3)
Bertanya
(Questioning)
Pengetahuan
yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari ‘bertanya’.Questioning (bertanya) merupakan strategi utama yang berbasis
kontekstual.Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk
mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa,
kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang
berbasis inquiry, yaitu menggali
informasi, mengkofirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian
pada aspek yang belum diketahuinya.
Dalam
sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
a. Menggali
informasi, baik administrasi maupun akademis;
b. Mengecek
pemahaman siswa;
c. Membangkitkan
respons terhadap siswa;
d. Mengetahui
sejauh mana keingintahuan siswa;
e. Mengetahui
hal-hal yang sudah diketahui siswa;
f. Memfokuskan
perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;
g. Membangkitkan
lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa;
h.
Menyegarkan kembali
pengetahuan siswa.
4)
Masyarakat
Belajar (Learning Community)
Konsep
Learning Community menyarankan agar
hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Ketika seorang
anak baru belajar menimbang massa benda dengan menggunakan neraca O’hauss, ia
bertanya kepada temannya. Kemudian temannya yang sudah bisa menunjukkan cara
menggunakan alat itu. Maka dua orang anak tersebut sudah membentuk masyarakat
belajar (Learning Community).Hasil
belajar dapat diperoleh dari hasil sharing
dengan orang lain, antar teman, antar kelompok, yang sudah tahu memberi
tahu pada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi
pengalamannya pada orang lain.
Inilah
hakikat dari masyarakat belajar, masyarakat yang saling membagi.Kebiasaan
penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar dalam CTL sangat dimungkinkan
dan dibuka dngan luas memanfaatkan masyarakat belajar lain di luar kelas.
Setiap siswa semestinya dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan rasa ingin
tahunya melalui pemanfaatan sumber belajar secara luas yang tidak hanya disekat
oleh masyarakat belajar di dalam kelas, akan tetapi sumber manusia lain di luar
kelas ((keluarga, masyarakat). Ketika kita dan siswa dibiasakan untuk
memberikan pengalaman yang luas kepada orang lain, maka saat itu pula kita atau
siswa akan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dari komunitas lain.
5)
Pemodelan
(Modelling)
Dalam sebuah pembelajaran
keterampilan atau pengetahuan tertentu, adalah model yang biasa ditiru oleh
siswanya, misalnya guru memodelkan langkah-langkah cara menggunakan neraca
O’hauss dengan demonstrasi sebelum siswanya melakukan suatu tugas tertentu.
Dalam pembelajaran kontekstual,
guru bukan satu-satunya model.Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan
siswa.Seseorang bisa ditunjuk untuk memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman
yang diketahuinya.
Model
dapat juga didatangkan dari luar yang ahli dibidangnya, misalnya mendatangkan
seorang perawat untuk memodelkan cara menggunakan termometer untuk mengukur
suhu tubuh pasiennya.
6)
Refleksi
(Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir
tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang
sudah kita lakukan di masa lalu. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar
itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan
menjadi bagian dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses
refleksi siswa akan memperbarui pengetahuan yang telah dibentuknya.
Dalam
proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses
pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk “merenung” atau
mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya. Biarkan secara bebas siswa
menafsirkan pengalamannya sendir, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang
pengalaman belajarnya.
7)
Penilaian
Nyata (Authentic Assessment)
Penilaian nyata (Authentic Assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk
mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.
Penilaian ini diperukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau
tidak, apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap
perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang
dikumpulkan haru diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat
melakukan prose pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar
fisika bagi para siswanya harus mengumpulkan data dari kegiatan nyata di kehidupan
sehari-harinya yang berkaitan dengan fisika, tidak hanya saat siswa mengerjakan
tes fisika saja.Pengumpulan data yang demikian merupakan data autentik.
Penilaian autentik menilai pengetahuan
dan keterampilan (performance) yang
diperoleh siswa. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau
orang lain. Karateristik penilaian autentik:
a. Dilaksanakan
selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung;
b. Bisa
digunakan untuk formatif maupun sumatif;
c. Yang
diukur keterammpilan dan performansi, bukan mengingat fakta;
d. Berkesinambungan;
e. Terintegrasi;
f. Dapat
digunakan sebagai feedback.
Dalam
CTL hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa, antara
lain:
· Proyek/kegiatan
dan laporannya;
· PR
(pekerjaan rumah);
· Kuis;
· Karya
siswa;
· Presentasi
atau penampilan siswa;
· Demonstrasi;
· Laporan;
· Jurnal;
· Hasil
tes tulis;
· Karya
tulis.
2.
Perbedaan Antara CTL Dengan Pembelajaran Konvensional
Perbedaan
dua model pembelajaran ini yang dilihat dari konteks tertentu adalah sebagai
berikut:
1.
CTL menempatkan siswa
sebagai subjek belajar, artinya siswa berperan aktif dalam setiap proses
pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran.
Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek
belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
2.
Dalam pembelajaran CTL,
siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi,
saling menerima dan member. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa
lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal
materi pelajaran.
3.
Dalam CTL, pembelajaran
dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil. Sedangkan, dalam pembelajaran
konvensional, pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak.
4.
Dalam CTL, kemampuan
didasarkan atas pengalaman. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan
diperoleh melalui latihan-latihan.
5.
Tujuan akhir dari
proses pembelajaran melalui CTL, adalah kepuasan diri. Sedangkan dalam
pembelajaran konvensional, tujuan akhir adalah nilai atau angka.
6.
Dalam CTL, tindakan
atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak
melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan
dan tidak bermanfaat. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional, tindakan atau
perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu
tidak melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman atau sekedar untuk memperoleh
angka atau nilai dari guru.
7.
Dalam CTL, pengetahuan
yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang
dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai
hakikat pengetahua yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional hal ini
tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolute dan final,
oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.
8.
Dalam pembelajaran CTL,
siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka
masing-masing. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu
jalannya proses pembelajaran.
9.
Dalam pembelajaran CTL,
pembelajaran bisa terjadi dimana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan dalam
pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.
10. Oleh
karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka
dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara, misalnya
dengan evaluasi proses, hasil karya wisata, penampilan, rekaman, observasi,
wawancara, dan lain sebagainya. Sedangkan pembelajaran konvensional
keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dari tes.
Beberapa
perbedaan pokok di atas, menggambarkan bahwa CTL memang memiliki karakteristik
tersendiri baik dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan
pengelolaannya.
3.
Peran Guru Dan Siswa Dalam CTL
Dalam
proses pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam
dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya
belajar siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional, hal ini sering
terlupakan sehingga proses pembelajaran tak ubahnya sebagai proses pemaksaan
kehendak, yang menurut Paulo Freire sebagai sistem penindasan.
Sehubungan
dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru
manakala menggunakan pendekatan CTL.
1. Siswa
dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang
berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang
dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam
tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat
pekembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai
instruktur atau “penguasa” yang memaksakan kehendak melainkan guru adalah
pembimbing siswa agar mereka bisa belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2. Setiap
anak memiiliki kecendrungan untuk belajar hal-hal yang baru dan penuh
tantangan. Kegemaran anak adalah mencoba hal-hal yang dianggap aneh dan baru.
Oleh karena itulah belajar bagi mereka adalah mencoba memecahkan setiap
persoalan yang menantang. Dengan demikian, guru berperan dalam memilih
bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari siswa.
3. Belajar
bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal
yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian, peran guru
adalah membantu agar setiap siswa mampu menemukan keterkaitan antara pengalaman
baru dengan pengalaman sebeumnya.
Belajar bagi
anak adalah proses menyempurnakan skema yang telah ada (asimilasi) atau proses
pembentukan skema baru (akomodasi), dengan demikian tugas guru adalah
memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan
proses akomodasi.
4. Implementasi Pendekatan Contextual
Teaching and Learning
Pembelajaran
kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja,
dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Filosofi pembelajaran kontekstual
berakar dari paham progressivisme John Dewey. Intinya, siswa akan belajar
dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah
mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat dalam
proses belajar di sekolah.
Belajar dengan model pembelajaran CTL akan
mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah serta
mengambil keputusan secara objektif dan rasional. Disamping itu juga akan mampu
mengembangkan kemampuan berfikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu siswa
harus benar-benar dilatih dan dibiasakan berfikir secara kritis dan mandiri.
Pada dasarnya, pembelajaran CTL adalah suatu
sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan
menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.
Dalam pembelajaran ini siswa harus dapat mengembangkan ketrampilan dan
pemahaman konsep matematika untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
(Mudhofar, 2008:3)
Secara
garis besar langkah-langkah penerapan CTL dalam kelas sebagai berikut.
Merencanakan
pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental (developmentally appropriate)
siswa.
Membentuk group belajar
yang saling tergantung (interdependent learning groups).
Mempertimbangan
keragaman siswa (disversity of students).
Menyediakan lingkungan
yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) dengan 3
karakteristik umumnya (kesadaran berpikir, peng-gunaan strategi dan motivasi
berkelanjutan).
Memperhatikan
multi-intelegensi (multiple intelli-gences) siswa.
Menggunakan teknik
bertanya (quesioning) yang
meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan
keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Mengembangkan pemikiran
bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika ia diberi kesempatan untuk
bekerja, menemukan, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru
(contructivism).
Memfasilitasi kegiatan
penemuan (inquiry) agar siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan
melalui penemuannya sendiri (bukan hasil mengingat sejumlah fakta).
Mengembangkan sifat
ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan (quesioning).
Menciptakan masyarakat
belajar (learning community) dengan membangun kerjasama antar siswa.
Memodelkan (modelling)
sesuatu agar siswa dapat menirunya untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan baru.
Mengarahkan siswa untuk
merefleksikan tentang apa yang sudah dipelajari.
Menerapkan penilaian
autentik (authentic assessment).
5. Kelebihan dan Kelemahan CTL
Model pembelajaran CTL juga memiliki
kelebihan dan kelemahan, kelebihan yang dimiliki model pembelajaran ini antara
lain:
· Pembelajaran menjadi lebih bermakna
dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara
pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting,
sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata,
bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi
materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak
akan mudah dilupakan.
· Pembelajaran lebih produktif dan
mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL
menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa
diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
· Kontekstual adalah model
pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik
maupun mental
· Kelas dalam pembelajaran Kontekstual
bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat
untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan
· Materi pelajaran dapat ditemukan
sendiri oleh siswa, bukan hasil pemberian dari guru
· Penerapan pembelajaran Kontekstual
dapat menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna
Sedangkan
kelebihan dari model pembelajaran ini antara lain:
·
Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran
Kontekstual berlangsung
·
Jika guru tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat
menciptakan situasi kelas yang kurang kondusif
·
Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode
CTL, guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah
mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan
pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai
individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan
demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksa
kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar
sesuai dengan tahap perkembangannya.
·
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan
sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam
konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra
terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan
semula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar